Minggu, 08 Februari 2009

PROFIT AND PROPERTY

Latar Belakang

Indonesia tak hanya kaya akan sumber daya alam sebagai aset negara sekaligus warisan bagi penerus negeri ini. Setelah merdeka, pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia ternyata juga terhitung sebagai aset negara. Banyak aset negara yang digarap secara “bawah tanah”. Artinya, aset itu secara diam-diam akhirnya berpindah tangan ke pihak lain. Atau diserahkan pengelolaannya pada pihak lain. Negara ini sungguh sangat memprihatinkan dalam minimnya keprihatinan atas membangun keperdulian terhadap aset negara sendiri.

Di berbagai instansi dan departemen, bahkan di tangan pemerintah daerah, banyak aset yang kini tidak tahu di mana keberadaanya. Salah satunya adalah karena para pejabat yang sebelumnya menggunakan aset tersebut, kemudian menggunakan kekuasaannya pada saat berkuasa, untuk kemudian memiliki dan menguasai aset tersebut. Akibatnya, jelas aspek legalitas hukum sudah sangat sulit disebut sebagai aset negara lagi. Cara lain yang juga marak adalah dengan memanfaatkan metode tukar guling. Persoalannya, metode verifikasi lahan yang ditukargulingkan ini sangat rawan dengan penyelewengan. Kerap diketahui ternyata lahan yang diserahkan kepada pemerintah ternyata sangat jauh lebih rendah nilainya daripada yang diserahkan oleh pemerintah daerah.

Aset juga bisa ditukar karena pemerintah tidak lagi memiliki dokumen yang baik dan memadai atasnya. Padahal, aset negara seharusnya berada dalam pengawasan negara secara utuh untuk kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan negara juga. Banyak aset tersebut dulunya diberikan dan diserahkan oleh masyarakat secara cuma-cuma demi kepentingan pemerintah yang amat membutuhkan kala itu. Tetapi kalau sampai lepas tanpa ada yang mengetahuinya, masyarakat tentunya akan sangat dikecewakan. Tetapi kenyatannya, memang itulah yang terjadi, aset negara sudah banyak yang beralih kepemilikan. Salah satu sebab dari persoalan ini adalah karena banyak aset tersebar di berbagai instansi. Aset-aset itu tidak berada dalam satu koordinasi.

Karena itu saatnya Menteri Keungan atau Sekretariat Negara mengambil langkah tegas. Seluruh aset harus diperiksa, diteliti ulang, dan disusun kembali. Mapping atas lokasi dan kepentingan aset ini sangat penting supaya pemerintah bisa mengetahui keberadaan masing-masing aset milik negara tersebut. Karena itu pemerintah harus serius menjadikannya sebagai persoalan yang harus juga diselesaikan dengan baik, jangan sampai berlarut-larut dan menimbulkan tafsir yang saling menguntungkan berbagai pihak yang tidak berhak.


Rumusan Masalah

  1. Bagaimana hubungan antara Status Kepemilikan Tanah Plaza Semanggi, Yayasan Veteran Gedung RI (LVRI), dan Aset Negara?

  2. Bagaimana dampak status kepemilikan tanah Plaza Semanggi terhadap perolehan laba?

  3. Bagaimana pandangan etika bisnis dalam kasus kepemilikan tanah tersebut?

Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui hubungan antara Status Kepemilikan Tanah Plaza Semanggi, Yayasan Veteran Gedung RI (LVRI), dan Aset Negara.

  2. Untuk megetahui dampak atau pengaruh status kepemilikan tanah Plaza Semanggi terhadap perolehan laba.

  3. Untuk mengetahui dan memahami pandangan etika bisnis dalam kasus kepemilikan tanah tersebut.


Landasan Teori

  1. Pengertian Kepemilikan

Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi. Definisi ini mirip dengan definisi kekayaan, baik pribadi atau publik. Properti menunjukkan kepada sesuatu yang biasanya dikenal sebagai entitas dalam kaitannya dengan kepemilikan seseorang atau sekelompok orang atas suatu hak eksklusif. Bentuk yang utama dari properti ini adalah termasuk real property (tanah), kekayaan pribadi (personal property) (kepemilikan barang secara fisik lainnya), dan kekayaan intelektual. Hak dari kepemilikan adalah terkait dengan properti yang menjadikan sesuatu barang menjadi "kepunyaan seseorang" baik pribadi maupun kelompok, menjamin si pemilik atas haknya untuk melakukan segala suatu terhadap properti sesuai dengan kehendaknya, baik untuk menggunakannya ataupun tidak menggunakannya, untuk mengalihkan hak kepemilikannya. Beberapa ahli filosofi menyatakan bahwa hak atas properti timbul dari norma sosial. Beberapa lainnya mengatakan bahwa hak itu timbul dari moralitas atau hukum alamiah (natural law).

Hak kepemilikan properti modern mengandung suatu hak kepemilikan dan hak penguasaan yang merupakan milik dari suatu perorangan yang sah, walaupun apabila perorangan tersebut bukan merupakan bentuk orang yang sesungguhnya. Misalnya pada perusahaan, dimana perusahaan memiliki hak-hak setara dengan hak warga negara lainnya termasuk hak-hak konstitusi, dan oleh karena itulah maka perusahaan disebut sebagai badan hukum. Properti biasanya digunakan dalam hubungannya dengan kesatuan hak termasuk :

  1. Kontrol atas penggunaan dari properti

  2. Hak atas segala keuntungan dari properti ( misalnya "hak tambang", "hak sewa")

  3. Suatu hak untuk mengalihkan atau menjual properti

  4. Suatu hak untuk memiliki secara eksklusif

Sistem hukum telah berkembang sedemikian rupa untuk melindungi transaksi dan sengketa atas penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, pengalihan dan pembagian properti, dimana sistim tersebut termasuk dengan yang biasa dikenal dengan istilah kontrak (perjanjian) Hukum positif menegaskan hak -hak tersebut dan untuk menghakimi dan melaksanakan penerapannya maka digunakan suatu sistim hukum sebagai sarananya.


  1. Pengertian Laba

Laba dapat didefinisikan dengan dua cara. Laba dalam ilmu ekonomi murni didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan seorang investor sebagai hasil penanam modalnya, setelah dikurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan penanaman modal tersebut (termasuk di dalamnya, biaya kesempatan). Sementara itu, laba dalam akuntansi didefinisikan sebagai selisih antara harga penjualan dengan biaya produksi. Perbedaan diantara keduanya adalah dalam hal pendefinisian biaya.


Analisis dan Diskusi

  1. Hubungan antara Status Kepemilikan Tanah Plaza Semanggi, Yayasan Veteran Gedung RI (LVRI), dan Aset Negara.

Status kepemilikan tanah Plaza Semanggi yang sedang diperdebatkan saat ini telah melibatkan berbagai pihak, yaitu Sekretariat Negara, Yayasan Veteran, dan PT Prima Nusa Indah. Tanah tersebut merupakan aset Negara, namun pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Veteran. Tanah seluas 19.000 m2 tersebut sebelumnya dikelola Yayasan Gedung Veteran. Namun, dalam perkembangannya, yayasan itu menyewakannya kepada PT Prima Nusa Indah untuk dibangun Plaza Semanggi. Uang sewa lahan itu, seharusnya masuk kas negara. Namun,menurut informasi Setneg, selama ini pihaknya tidak pernah menerima uang hasil sewa dari Yayasan Gedung Veteran.

Status sertifikat tanah tersebut adalah milik negara, namun perjanjian PNPB (penerimaan negara bukan pajak) dan setoran (sewa) tanah masuk ke Yayasan Veteran. Penguasaan gedung Plaza Semanggi atau yang biasa di sebut Plangi ini memang dikuasai oleh lembaga veteran. Pada awalnya, sekitar tahun 1977, terjadi perselisihan di antara para veteran. Masalah tersebut kemudian dibawa ke almarhum Presiden Soeharto dan akhirnya diputuskan bahwa negara akan mengambil alih aset tersebut. Untuk pengelolaannya, diserahkan kepada veteran melalui Kepres Nomor 4 Tahun 1977. Untuk itu, Setneg sendiri kini meminta bantuan KPK dan departemen keuangan (depkeu) untuk memberesi persoalan gedung Plaza Semanggi yang dikuasai oleh lembaga veteran.

Gedung milik negara itu antara lain berfungsi sebagai pusat perbelanjaan.
Menurut Wahyono, tanah tersebut adalah tanah milik veteran yang dibebaskan dengan dana veteran sendiri dan pada tahun 1973 mendapat Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 27 atas luah lahan 21.255 m2. Namun, karena ada masalah internal antara Legiun Veteran RI dengan Yayasan Gedung Veteran yang saat itu dijabat oleh Letjen (Purn) M Sarbini, gedung itu diberikan kepada negara, meski pengelolaannya tetap dilakukan oleh yayasan. Keppres No.4/1977 pun kemudian dikeluarkan oleh Presiden Soeharto yang menyatakan bahwa gedung bangunan Graha Purna Yudha bersama tanah di kav.50 jalan Jenderal Sudirman adalah milik negara, menurutnya.
Haryono menjelaskan, tanah seluas 19 ribu di Jalan Sudirman kini dikuasai Yayasan Gedung Veteran RI. Lahan itu disewakan kepada PT Prima Nusa Indah untuk pembangunan Plaza Semanggi. Karena milik negara, uang sewa tanah tersebut seharusnya masuk ke kas negara. Namun, Setneg mengaku tak pernah menerima sepeser pun uang dari yayasan tersebut.


  1. Dampak Status Kepemilikan Tanah Plaza Semanggi terhadap perolehan laba.

Melalui kasus ini, ada dua pihak yang diuntungkan, yaitu PT Prima Nusa Indah dan Yayasan Veteran. Yayasan Veteran menggunakan aset Negara yang seharusnya digunakan untuk mengelola para veteran RI untuk mencari keuntungan bagi Yayasan itu sendiri. Fasilitas Negara tersebut dengan sengaja mereka sewakan kepada PT Prima Nusa Indah agar mereka mendapatkan penerimaan atas setoran sewa tanah Negara dan penghasilan Negara bukan pajak. Sedangkan PT Prima Nusa Indah, mendapat keuntungan berupa penyelewengan pajak yang seharusnya dibayar oleh suatu Badan Usaha. Karena PT Prima Nusa Indah menyewa tanah milik Negara, maka secara otomatis tanah tersebut tidak dikenakan pajak. Berdasarkan sertifikat kepemilikan, tanah tersebut adalah milik Negara, sehingga berdasarkan UU pasal 2 no 17 tahun 2000, tanah tersebut bukan merupakan objek pajak dan oleh karenanya dikenakan pembebasan pajak atas tanah tersebut. Akibatnya, PT Prima Nusa Indah dapat memaksimalkan keuntungannya dari penyelewengan pajak tersebut.

  1. Pandangan etika bisnis dalam kasus kepemilikan tanah Plaza Semanggi

Seluruh aset negara perlu segera diinventarisasi agar dapat mencegah adanya tindakan korupsi. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan mengungkapkan bahwa sertifikat ganda menggerogoti aset negara dan menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh terhadap investasi (Jawa Pos, Rabu 7/5 2008). Oleh karena itu, kasus kepemilikan tanah Plaza Semanggi dapat dikatakan melanggar etika bisnis. Pemaksimalan laba yang diperoleh PT Prima Nusa Indah dan Yayasan Veteran Gedung RI (LVRI) telah merugikan Negara. Seharusnya penerimaan sewa Plaza Semanggi masuk ke dalam kas Negara, namun dalam kasus ini, penghasilan dari setoran sewa tanah diterima oleh Yayasan Veteran. Dengan kata lain Yayasan Veteran memperoleh penghasilan melalui aset Negara yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk bisnis. Sedangkan PT Prima Nusa Indah, dapat memaksimalkan laba melalui penyelewengan pajak dan biaya-biaya terkait dengan sertifikat hak guna bangunan. Terlebih lagi sertifikat tersebut sebenarnya merupakan milik Negara. Sehingga, PT Prima Nusa Indah ini mendapatkan kemudahan dalam membangun Plaza Semanggi.


Penanggulangan

Aset negara perlu segera diinventarisasi agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi, sebagaimana dinyatakan oleh Sekretaris Jendral Departemen Keuangan yang didampingi Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan bersama sejumlah sekjen, irjen instansi pemerintah ketika membahas penertiban aset negara (Kompas, Rabu 7/5 2008). Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan mengungkapkan bahwa sertifikat ganda menggerogoti aset negara dan menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh terhadap investasi (Jawa Pos, Rabu 7/5 2008). Penyertifikatan tanah, menurut UU No. 5 Tahun 1960, merupakan langkah yang tepat untuk menata aset negara dan sesungguhnya pendaftaran tanah di seluruh NKRI adalah kewajiban Pemerintah. Namun, karena keterbatasan keuangan negara, hingga saat ini diperkirakan 70 sampai 80 persen bidang tanah belum bersertifikat.

Tanah yang sudah bersertifikat disebut aset negara, karena negara telah melakukan inventarisasi melalui penetapan hak berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1960. Sedangkan aset bangsa meliputi aset negara dan tanah yang belum bersertifikat atau tidak perlu diberi sertifikat, karena tidak ada yang menguasai, selain negara, seperti pulau-pulau terluar NKRI memerlukan sistem terpadu dalam penataannya. Subjek hak, baik seorang WNI atau WNA maupun badan hukum privat atau publik dan jenis hak yang dibukukan melalui manajemen pertanahan harus terkoneksi dengan administrasi kependudukan sehingga sertifikat ganda dapat dihindari.

Sekretariat Negara (Setneg) meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut dugaan penyerobotan tiga aset negara berupa tanah dan bangunan oleh pihak ketiga. Salah satu aset tersebut adalah sebidang tanah seluas 19 ribu meter persegi dan bangunan seluas 5.000 meter persegi di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, yang kini dibangun pusat perbelanjaan Plaza Semanggi. Selain Setneg, KPK akan memintai keterangan Yayasan Gedung Veteran dan PT Prima Nusa Indah terkait aset tanah Plaza Semanggi.

Setneg sendiri kini meminta bantuan KPK dan departemen keuangan (depkeu) untuk memberesi persoalan gedung Plaza Semanggi yang dikuasai oleh lembaga veteran. Karena itu kita masih menunggu klarifikasi secepatnya dari Depkeu, apakah selama ini ada uang APBN yang dikeluarkan. Persoalan ini, membuktikan bahwa pengelolaan aset negara masih berantakan. Sekarang di masing-masing K/L, tim untuk penertiban aset juga sedang bekerja. Setiap Satuan Kerja (Satker) satu per satu harus dipoeriksa untuk mengecek asetnya, apakah sesuai dengan catatan yang mereka miliki. KPK bisa menjadikan bahan dari BPK untuk memproses penyimpangan pengelolaan kekayaan negara itu.

Aset negara yang dialihkan atau diswastakan pasti bisa ditertibkan dengan pendekatan legal. Pengalihan aset negara tanpa proses yang transparan dan selaras dengan aturan berarti sudah merupakan tindakan yang berbau korupsi. Untuk itu, KPK sebagai penegak hukum harus tegas dalam memproses pengalihan aset negara itu melalui pendekatan legal. Sedangkan pemerintah, memberikan dukungan politik bagi penyelesaian masalah ini. Pengelolaan dan penggunaan aset negara harus mengikuti ketentuan yang digariskan negara. Dengan dasar itu maka seluruh status aset negara dijalankan sesuai dengan ketentuan. Bagaimanapun, tak layak mengambil laba dari aset yang semestinya dijadikan negara untuk kepentingan bersama.


Kesimpulan

Setiap perusahaan pada dasarnya memiliki suatu aset sebagai salah satu modal yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usahanya. Salah satunya yang disebut sebagai properti. Kepemilikan atas properti ini, seharusnya memiliki status yang sah di mata hukum. Dengan demikian, hal tersebut tidak menimbulkan tindak penyelewengan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Terlebih lagi, jangan sampai perusahaan menggunakan aset negara yang seharusnya diinventarisasi agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi.

Namun, tak jarang perusahaan yang dengan sengaja menggunakan aset ini dengan tujuan mencari laba yang maksimal, yaitu dengan cara menyelewengkan biaya pajak. Hal ini tentu saja sangat merugikan negara karena tidak menerima penghasilan pajak. Selain itu setoran berupa sewa pun masuk ke dalam kantong pihak lain yang bertindak curang.

Seharusnya, perusahaan yang memiliki etika, tidak akan melakukan tindakan penyelewengan, termasuk dalam status kepemilikan properti yang menjadikan sesuatu barang menjadi "kepunyaan seseorang", apalagi menyelewengkan aset milik negara yang sesungguhnya diperuntukkan bagi masyarakat.


Saran

Kelompok kami berpendapat bahwa peraturan hukum yang mengatur masalah ini harus lebih diperketat untuk mencegah dan menghapus tindakan penyelewengan terhadap aset negara. Selain itu, pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha yang berorientasi pada laba juga harus lebih diperketat lagi. Hal ini ditujukan agar pelaku usaha menjadi lebih berhati-hati dan enggan untuk melawan hukum. Dengan demikian, tindakan-tindakan ilegal semacam penyelewengan aset negara dapat dicegah dan diberantas. Namun, suatu aturan juga tidak bisa jika hanya berjalan dari satu arah saja. Menurut kami, setiap pelaku usaha juga harus memiliki kesadaran penuh untuk mematuhi setiap aturan yang ada dan kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan yang ilegal karena dampaknya akan merugikan dirinya dan pihak lain juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar